KETERBATASAN UU TELEKOMUNIKASI DALAM
MENGATUR PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Dengan
persetujuan
DEWAN PERWAKILAN PAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
DEWAN PERWAKILAN PAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
TELEKOMUNIKASI.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
- Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
- Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
- Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
- Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
- Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
- Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
- Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
- Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
- Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
- Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
- Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
- Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
BAB
II
ASAS DAN TUJUAN
ASAS DAN TUJUAN
Pasal
2
Telekomunikasi diselenggarakan
berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan,
kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal
3
Telekomunikasi diselenggarakan
dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB
III
PEMBINAAN
PEMBINAAN
Pasal
4
- Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
- Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
- Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Pasal
5
- Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peranserta masyarakat.
- Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
- Pelaksanaan peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
- Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat 3 keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi. dan masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
- Ketentuan mengenai tata cara peranserta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
6
Menteri bertindak sebagai penanggung
jawab administrasi telekomunikasiIndonesia.
BAB
IV
PENYELENGGARAAN
PENYELENGGARAAN
Bagian
Pertama
Umum
Umum
Pasal
7
- Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
- penyeienggaraan jaringan telekomunikasi;
- penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
- penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
- Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- melindungi kepentingan dan keamanan negara;
- mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
- dilakukan secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan;
- peranserta masyarakat.
Bagian
Kedua
Penyelenggara
Penyelenggara
Pasal
8
- Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
- Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
- Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
- badan usaha swasta; atau
- koperasi.
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf c dapat dilakukan oleh:
- perseorangan;
- instansi pemerintah;
- badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
- Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
9
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1 dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
- Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1 dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
- Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
- keperluan sendiri;
- keperluan pertahanan keamanan negara;
- keperluan penyiaran.
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan:
.
perseorangan;
- instansi pemerintah;
- dinas khusus;
- badan hukum.
- Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Larangan Praktek Monopoli
Pasal
10
- Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
- Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Keempat
Perizinan
Perizinan
Pasal
11
- Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
- lzin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan dengan memperhatikan:
- tata cara yang sederhana;
- proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
- penyelesaian dalam waktu yang singkat.
- Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Hak dan Kewajiban Penyetenggara dan Masyarakat
Hak dan Kewajiban Penyetenggara dan Masyarakat
Pasal
12
- Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
- Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
- Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung, jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
13
Penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk
tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi
setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal
14
Setiap pengguna telekomunikasi
mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
15
- Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
- Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
- Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
16
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
- Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
- Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
17
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan
pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
- perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
- peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
- pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal
18
- Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
- Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
- Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
19
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal
20
Setiap penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian
informasi penting yang menyangkut:
- keamanan negara;
- keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
- bencana alam;
- marabahaya; dan atau
- wabah penyakit.
Pasal
21
Penyelenggara telekomunikasi
dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban
umum.
Pasal
22
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
- akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
- akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
- akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian
Keenam
Penomoran
Penomoran
Pasal
23
- Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
- Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
24
Permintaan penomoran oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23.
Bagian
Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal
25
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
- Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dilakukan berdasarkan prinsip:
- pemanfaatan sumber daya secara efisien;
- keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
- peningkatan mutu pelayanan; dan
- persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
- Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
26
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan.
- Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
T a r i f
T a r i f
Pasal
27
Susunan tarif penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
28
Besaran tarif penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan
berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian
Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Telekomunikasi Khusus
Pasal
29
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 3 huruf a dan huruf b dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 3 huruf c dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal
30
- Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 3 huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
- Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
- Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
31
- Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 3 huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
- Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal
32
- Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
33
- Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
- Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
- Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
- Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
34
- Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
- Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
- Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
35
- Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
- Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali.
- untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
- disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
- merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
- Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
36
- Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
- Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
- untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan; atau
- disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
- merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
- Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
37
Pemberian izin penggunaan perangkat
telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan
diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian
Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal
38
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal
39
- Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
- Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
40
Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal
41
Dalam rangka pembuktian kebenaran
pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa
telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman
pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi,
dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
42
- Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
- Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
- permintaan tertulis laksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
- permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
- Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
43
Pemberian rekaman informasi oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 tidak merupakan pelanggaran
Pasal 40.
BAB
V
P E N Y I D I K A N
P E N Y I D I K A N
Pasal
44
- Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
- Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
- melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
- mengadakan penghentian penyidikan.
- Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB
VI
SANKSI ADMINISTRASI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal
45
Barang siapa melanggar ketentuan
Pasal 16 ayat 1, Pasal 18 ayat 2, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat 2, Pasal 26
ayat 1, Pasal 29 ayat 1, Pasal 29 ayat 2, Pasal 33 ayat 1, Pasal 33 ayat 2,
Pasal 34 ayat 1, atau Pasal 34 ayat 2 dikenai sanksi administrasi.
Pasal
46
- Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
- Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
BAB
VII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal
47
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun danlatau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling
banyak Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
49
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Pasal
50
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
Pasal
51
Penyelenggara telekomunikasi khusus
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 atau Pasal
29 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal
52
Barang siapa memperdagangkan,
membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan perangkat telekomunikasi di
wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rpl00.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal
53
- Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat 1 atau Pasal 33 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
- Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00,- (dua ratus juta rupiah).
Pasal
55
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
Pasal
56
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal
57
Penyelenggara jasa telekomunikasi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
58
Alat dan perangkat telekomunikasi
yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal
48, Pasal 52, atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54,
Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB
VIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
60
Pada saat berlakunya Undang-undang
ini, penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1989 tentangTelekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya
dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang
ini.
Pasal
62
- Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku.
- Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.
Pasal
62
Pada saat Undang-undang ini berlaku
semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentangTelekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau
belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB
IX
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
63
Dengan berlakunya Undang-undang ini,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentangTelekomunikasi dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
64
Undang-undang ini mulai berlaku 1
(satu) tahun setelah tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 September 1999
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE |
PERATURAN DAN REGULASI UNTUK CYBERLAW
Cyberlaw adalah hukum yang
digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan
internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di
banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, internet dan jaringan
komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
Semakin banyak munculnya
kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking
beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan
memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke
dalam programmer komputer. Maka dibuatlah sebuah regulasi konten, yaitu
:
- Keamanan nasional : instruksi pada pembuatan bom, produksi obat/racun tidak sah, aktivitas teroris.
- Protection of minors (Perlindungan pelengkap) : abusive forms of marketing, violence, pornography
- Protection of human dignity(Perlindungan martabat manusia) : hasutan kebencian rasial, diskriminasi rasial.
- Keamanan ekonomi : penipuan, instructions on pirating credit cards, scam, cybercrime.
- Keamanan informasi : Cybercrime, Phising
- Protection of Privacy
- Protection of Reputation
- Intellectual Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang
sering memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari sebaiknya kita
membaca undang-undang transaksi elektronis yang telah disyahkan pada tahun
2008. Undang-undang tersebut dapat didownload dari website www.ri.go.id dan dapat langsung membaca bab VII
yang mengatur tentang tindakan yang dilarang.
Permasalahan yang sering
muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan
ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang
kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Hingga saat ini, di
negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat
penjahat cybercrime. Untuk kasus carding misalnya, kepolisian
baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian
karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
Berikut ini merupakan
perbandingan Cyberlaw di beberapa negara.
1. Cyberlaw di Indonesia
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
- Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
- Pasal 28: Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan.
- Pasal 29: Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti.
- Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
- Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Tentang UU ITE
UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan. Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan. Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Keterbatasan UU Telekomunikasi dalam
Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Salah satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi informasi yaitu UU N0.36. Isi dari UU No.36 adalah apa arti dari telekomunikasi, asas dan tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, pengamanan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana dari pengguanaan telekomunikasi, yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPR RI.
Pada UU No.36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu tujuan yang berisikan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Teknologi informasi sangatlah berpengaruh besar untuk negara kita,di lihat dari segi kebudayaan , kita bisa memperkenalkan budaya – budaya yang kita miliki dengan bebas kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing. kalau dilihat dari segi bisnis keuntungannya adalah kita dengan bebas dan leluasa memasarkan bisnis yang kita jalankan dengan waktu yang singkat. Jadi menurut saya UU ini belum sepenuhnya dapat mengatur penggunaan teknologi informasi karena kebebasan yang dimiliki dari setiap individu yang tidak bida dikontrol dan juga tidak bisa dilihat dari segi negatif”y saja banyak juga segi positif dari penggunaan teknologi informasi seperti dapat”y memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing.
Salah satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi informasi yaitu UU N0.36. Isi dari UU No.36 adalah apa arti dari telekomunikasi, asas dan tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, pengamanan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana dari pengguanaan telekomunikasi, yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPR RI.
Pada UU No.36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu tujuan yang berisikan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Teknologi informasi sangatlah berpengaruh besar untuk negara kita,di lihat dari segi kebudayaan , kita bisa memperkenalkan budaya – budaya yang kita miliki dengan bebas kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing. kalau dilihat dari segi bisnis keuntungannya adalah kita dengan bebas dan leluasa memasarkan bisnis yang kita jalankan dengan waktu yang singkat. Jadi menurut saya UU ini belum sepenuhnya dapat mengatur penggunaan teknologi informasi karena kebebasan yang dimiliki dari setiap individu yang tidak bida dikontrol dan juga tidak bisa dilihat dari segi negatif”y saja banyak juga segi positif dari penggunaan teknologi informasi seperti dapat”y memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing.
- Pasal 32: Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia.
- Pasal 33: Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS).
- Pasal 35: Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising).
Pelanggaran UU ITE ini
akan dikenakan denda 1 Milliar rupiah. Di Indonesia, masalah tentang
perlindungan konsumen,privasi,cybercrime,muatan online,digital
copyright,penggunaan nama domain dan kontrak elektronik sudah ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia. Namun, masalah spam dan online dispute resolution
belum mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga belum ada rancangannya.
Kesimpulan :
- Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008.
- Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
- Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime.
REFERENSI :
https://louiseester.wordpress.com/2012/03/28/tugas-artikel-bab-1-bab-10-etika-dan-profesionalisme-tsi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar